Bukan Biografi Suami Saya

Kurnia Widya
4 min readNov 2, 2022

--

Tulisan ini dapat menyebabkan: berkecil hati, rasa ingin membanding-bandingkan, iri, dengki, ingin menyantet, dan perasaan-perasaan bathil lainnya yang bisa saja muncul ketika hati dan akal sedang tidak sehat. Berhati-hatilah!

Saya tidak ingat persis sejak kapan jam minum kopi saya berubah menjadi lebih pagi dari biasanya. Sambil memulai membaca halaman depan buku baru — yaitu The Makioka Sisters — sebelum bel berbunyi, saya menyesap perlahan kopi yang diseduh hanya setengah bungkus. Sengaja saya bagi dua untuk separuhnya diseduh setelah makan siang. Tak lama muncul chat dari Iki — suami saya. Ia mengirimkan swafoto dirinya dengan dua jari membentuk hati seperti kultur yang dibawa oleh gelombang tren Korea masa kini. “Semangat kerjanya,” katanya. Saya tersenyum geli dan membalas dengan swafoto juga. Hingga saat ini, saya masih merasa cintanya ke saya lebih besar daripada cinta saya ke dia. Bukan saya nggak cinta. Tentu saya bukan seorang yang mau melakukan sesuatu tanpa perasaan.

Iki selalu berhasil membuat saya melunak dengan segala perwujudan cintanya. Ia memiliki apa yang tidak saya miliki (kan, memang begitu, ya, konsepnya). Saya adalah manusia yang penuh dengan segala macam emosi dan mudah sekali mengekspresikannya. Senang, senang sekali, ngambek, marah sekali, lelah, tidak suka terhadap sesuatu, kecewa, tidak nyaman, dan puluhan emosi lainnya tanpa nama yang masih belum teridentifikasi. Sementara Iki seperti menganut prinsip diam adalah sayang. Dia cenderung tenang meski tertawanya sering menggelegar. Saat sedang kesal (saya tahu kapan ia kesal), nada bicaranya tak pernah berubah. Mungkin hanya hilang satu-dua kata, atau intensitas tertawanya yang sedikit berkurang.

Perubahan itu tidaklah signifikan. Ia tetap terlihat baik-baik saja, tapi juga tak terlihat berusaha keras untuk itu. Semua tampak sebagaimana alamiahnya Iki sejak lahir. Sedangkan saya sejak lahir seperti sudah diberi fitur papan emoji sebelum di HP itu ada. Meski demikian, saya bukan orang yang pandai — atau mungkin pandai tapi tak suka — menunjukkan rasa cinta secara gamblang. Saya lebih suka menyiratkannya.

Iki juga senang membantu pekerjaan rumah. Kami benar-benar kerja sama. Tidak hanya berat di satu pihak. Tak pernah saya melihat wajahnya keberatan saat membersihkan kamar mandi atau mengelap jendela, atau pada pekerjaan lainnya. Tidak seperti saya yang ketika sedang capek atau mood swing, muka sudah pasti tertekuk.

Mengenai makanan, beruntung Iki tidak pernah mempersulit saya sebagai chef di rumah. Dia hanya akan berkomentar jika masakan saya: 1) terlalu pedas; dan 2) enak banget. Jadi, kalau ia tidak kasih komentar apa-apa atau tidak inisiatif bilang masakan saya enak, artinya memang cuma enak saja. Nggak pakai ‘banget’. Pun kalau saya sedang malas masak, ia akan menyarankan beli makanan online, makan di luar, atau masak sendiri: telur-irisan bawang merah-terasi-sejumput garam. Hmmm…

Saya tidak pernah berpikir akan mendapatkan suami seperti Iki. Maksudnya, dulu saya belum sempat memikirkan seperti apa suami saya kelak. Ada beberapa alasan dari saya untuk selalu menghindari topik pernikahan. Bahkan saya telah menyiapkan diri jika memang tidak menikah sampai nanti nenek-nenek. I’ll be fine with all possibilities in the whole life. Iki seperti hadiah istimewa bagi saya. And also vice versa, hehe.

Satu yang saya ingat bahwa saya pernah berucap ingin memiliki suami yang bisa diajak kerja sama untuk beberes rumah berhubung saya mudah sekali stres kalau rumah berantakan. Hanya terucap satu kali dan tak pernah dipikirkan lagi. Kemudian, tadaaa! Siapa akan mengira saya yang ogah-ogahan bahas pernikahan akan menikah dengan cepatnya. Dan, ucapan asal-asalan saya itupun terkabul dalam wujud seorang Iki. Bahkan ia kooperatif dalam hal apapun. Dapat bonus ganteng dan gingsul pula.

Penutup. Ini hanya curahan hati saya di pagi hari, Rabu pertama di November. Keinginan saya untuk menulis selalu membuncah setelah membaca buku atau tulisan bagus. Saat tulisan ini hampir selesai, saya ingat Iki pernah melarang saya untuk posting status WhatsApp yang isinya tentang pemujaan saya terhadap Iki. Katanya, ia khawatir akan berdampak kurang baik bagi orang lain. Saya mengerti, dan takjub, dan bersyukur. Bahkan untuk memujinya di depan banyak orang pun ia larang. Lalu, bagaimana dengan tulisan ini? Tentu saja blog berbeda dengan WhatsApp. :p

Saya mencoba membaca ulang sebelum terbit di blog. Selain untuk memastikan tanda baca, penulisan, dan diksi, saya juga mencari pesan yang bisa disampaikan kepada para pembaca. Sangat disayangkan ketika saya tidak menemukan pesan itu terselip di paragraf manapun. Tapi jika ingin dipaksakan ada, saya akan bilang begini:

“berucaplah selalu tentang hal-hal baik meski hanya asal-asalan. Karena kita tidak tahu ucapan asal-asalan mana yang akan terwujud.”

Kurang mewakili seluruh substansi tulisan, tapi cukup bagus untuk dijadikan penutup yang terkesan bijak.

--

--